Menelisik Fenomenalisasi Pilpres-Wapres 2024

Kita ketahui pemilu serentak 2024 masih dua tahun lagi akan dilaksanakan. Namun  ruang diskusi publik sudah mulai mengeliat dan menghangat dengan dominasi tema pemilihan langsung presiden-wakil presiden (pilpres-wapres). Hal ini merupakan fenomenalisasi sistem presidensil di Indonesia, yang mana posisi presiden dan wakil presiden sangatlah kuat dan berpengaruh. Pergantian seorang presiden dan wakil presiden akan diikuti oleh konfigurasi elit politik dan pengusaha di sekelilingnya. Partai politik, kekuatan-kekuatan politik, kelompok bisnis menyadari perlunya segera melakukan manuver agar tidak terlambat “ main” dalam mempengaruhi kontestasi presiden nanti demi kepentingan politik dan bisnisnya.

Para tokoh-tokoh partai politik juga telah melakukan safari, saling bertemu, bersilaturahmi, menjajaki berbagai kemungkinan.  Fenomena  yang terlihat  saat ini sangat dinamis, berproses dan berubah. Makanya tepat ketikan Presiden Jokowi berpesan kepada para relawan pendukungnya untuk “tidak tergesa-gesa” (ojo kesusu) untuk mengambil posisi politik dalam menyongsong pilpres langsung pada 2024, walaupun sudah mempunyai preferensi capresnya, karena perkembangan masih sangat dinamis

•Skema Poros Koalisi Kekuatan Partai Maupun King Maker•

Dilihat dari perolehan suara partai politik hasil Pemilu 2019, tidak ada partai yang mengantongi suara mutlak. Oleh karena itu partai-partai tersebut harus berkoalisi untuk mengusung Capres dan Cawapres pada Pilpres 2024 nanti. Survei-survei  yang marak dilakukan oleh lembaga survei telah menghasilkan nama-nama yang  mempunyai elektabilitas tinggi  dianggap layak untuk  dicalonkan dalam  kontestasi Pilpres 2024 antara lain: Prabowo Subianto (PS), Anies Bawesdan (AB), Ganjar Pranowo (GP), Ridwan Kamil (RK), Sandiago Uno (SU), dan Erik Tohir (ET).

Dari dinamika dan gereget yang berkembang saat ini, bisa muncul  dua atau tiga  poros koalisi yang akan mengusung capres dan cawapres. Poros pertama adalah poros yang memperkenalkan diri sebagai Koalisi Indonesia Bersatu. Poros ini dideklarasikan oleh tiga partai yaitu  Golkar yang mengantongi 12,3% suara, PAN dengan  6,8%  suara  dan PPP  dengan 4,5 %. Secara matematis koalisi tiga partai ini mengantongi suara  22,6% dan bisa mengusung  capres dan cawapres. Walaupun semua Parpol saat ini akan mengusung ketua partainya sebagai presidennya, diskusi public mengarah kepada suatu kemungkinan bahwa koalisi ini akan mengusung Ganjar Pranowo (GP ) sebagai presiden, sementara untuk wapresnya masih lowong. Bisa jadi posisi cawapres akan diisi oleh Airlangga Hartarto yang dicalonkan oleh partainya atau Erick Tohir yang popularitasnya mulai merangkak. 

Perlu diketahui, bahwa Presiden Jokowi menjadi king maker dalam koalisi ini dengan dukungan orang-orang terdekatnya seperti Luhut Panjaitan. Tapi masalahnya ada di Ganjar Pranowo yang sampai saat ini belum mendapatkan restu dari partainya sendiri, yakni PDIP. Yang terkesan dan terlihat cenderung menyerang Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo.

Sementara itu untuk skema poros koalisi kedua adalah bagian dari embrio yang disusun oleh suatu kelompok dengan king maker-nya Jusuf Kalla (JK) dan Ketua Umum PDIP  Megawati yang tidak happy dengan gerakan Ganjar Pranowo. 

Dari hal dan kans tersebut, JK yang merupakan politisi senior, dan juga pernah menjabat wapres dua kali, serta mantan ketua umum Golkar, akan mencoba melakukan pendekatan politik kepada PDIP, dan ingin menduetkan jagoannya Anies Baswedan (AB) dengan Princess of PDIP, Puan Maharani. Apalagi diketahui AB mempunyai popularitas  “the big three”. Sedangan Puan didukung  PDIP sebagai partai terbesar dengan  19,3% suara. Dan diketahui, JK sudah mengirim “orangnya “, Komjenpol (Purn) Syarifudin untuk melobi Puan pada saat ibadah umrah. Disamping itu, Anies Baswedan dan Puan juga sudah menunjukkan sinyal kedekatannya pada saat acara gelaran Formula di Ancol, media sosial, dan bahkan viral foto-foto menunjukkan “kemuslimahannya’ Puan Maharani.

Namun ada beberapa hal (masalah) yang menggantung terkait pemasangan AB dengan Puan, diantarnya yakni:

(1) Apakah para pendukung kedua tokoh yang selama ini mempunyai polarisasi ideologi yang kuat bisa bersatu. Dalam level partai apakah  PKS, sebagai partai utama pendukung AB Baswedan yang mempunyai perbedaan ideologis yang tajam,  bisa bersatu dengan PDIP? 

(2) Apakah para pendukung Anies yang selama ini berimpitan dengan pendukung Prabowo Subianto  yang dikenal Kampret dan Kadrun bisa bersenyawa dengan pendukung PDIP yang berimpitan dengan pendukung Jokowi yang dikenal sebagai “ Cebong”? Sangat mungkin langkah  PDIP, jika benar akan membuat pendukung loyalnya dari kalangan nasionalis dan non-Muslim meninggalkan partai berlambang banteng moncong putih ini. Atau untuk kepentingan pemenangan presiden pendukung loyalis PDIP akan bergabung dengan gerakan “PDIP Partaiku, Ganjar Pranowo Presidenku” yang sudah mulai muncul di beberapa daerah.

Dari kedua hal (masalah) tersebut, tentunya dapat sebagai pertimbangan.

Adapun untuk skema poros koalisi ketiga, embrionya dimotori oleh bos-bos parpol, yakni seperti  Surya Paloh (Nasdem), Susilo Bambang Yudhoyono (Demokrat), dan Prabowo Subianto (Gerindra). 

Pada awal  Juni lalu, SBY (Demokrat) dan Prabowo sebagai pimpinan partai Gerindra  sudah bertemu Surya Paloh untuk melakukan penjajagan dan pendekatan.  Diketahui, tiga partai ini  mempunyai suara 29,2% (Gerindra 12,5, Nasdem 9% dan Partai Demokrat 7,7 %) dan cukup untuk mengusung capres dan cawapres. Jika poros ini benar-benar akan terbentuk, sangat mungkin Prabowo Subianto yang masih mempunyai popularitas dan elektabilitas yang tinggi dengan dukungan partai yang mempunyai suara terbanyak dalam koalisi ini akan didapuk menjadi capres. Kemungkinan terkuat Agus Harimurti (AHY), Pangeran Cikeas,  yang mempunyai popularitas  yang cukup akan mendampingi Prabowo.

Skema koalisi poros ketiga di atas sangat mungkin berubah menjadi dua poros pada masa mendekati hari H. Potensi yang paling mungkin adalah. Poros JK-Mega akan pecah. Karena poros ini mempunyai kerentanan ideologis yang tinggi.  Jika nego-nego politik dan power sharing-nya bisa diatasi, faksi Megawati paling mungkin bergabung dengan Poros Koalisi Indonesia Baru ( KIB) yang sudah dihuni Golkar, PAN dan PPP. PDIP akan sulit bergabung dengan koalisi yang  sudah dihuni oleh Partai Demokrat, karena  persoalan psikologi politik yang sulit disenyawakan. PDIP juga akan sulit bergabung dengan PKS, karena secara ideologis kedua partai ini bagaikan minyak dan air  yang juga sulit  disenyawakan.  Sangat mungkin PKB yang saat ini masih bebas bergabung dengan poros ini, karena pimpinan PKB sangat fleksibel dalam politik.

Yang menjadi masalah nanti adalah siapa yang akan jadi “komandan koalisi”?  Jokowi plus orang-orang dekatnya Luhut Panjaitan atau Megawati? PDIP dan Luhut Panjaitan selama ini terkesan kurang harmonis dalam koalisi pemerintahan  Jokowi. Sementara itu faksi Anis Baswedan dengan king maker JK sangat mungkin akan bergabung dengan koalisi yang sudah diinisiasi oleh Prabowo, SBY dan Surya Paloh. Koalisi ini akan beranggotakan Partai Gerindra, Partai Demokrat, Partai Nasdem dan  PKS. Partai Gerindra, Partai Demokrat dan PKS pernah berkoalisi dalam Pilpres 2019. Partai Nasdem juga sangat fleksibel langkah-langah politiknya. Jika skenario dua poros, sangat mungkin Prabowo akan Diduetkan dengan Anies Baswedan yang sama-sama mempunyai peluang sangat populer dan besar. (Doc.arsip by MTM/email/lind_media,04050822)

Komentar

Postingan Populer